A. Pengertian Hadits Ahad.
Hadits ahad adalah
hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua,atau sedikit orang yang tidak mencapai
derajat mutawatir. Hadits ahad dikategorikan sebagai hadits zhanny
as-tsubut. Hadits ahad mempunyai sisi gelap yang memungkinkannya untuk
ditolak atau diabaikan dan tidak diamalkan.
Kata ahad berarti
“satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
هو ما لم يجمع شروط المتواتر.
“Hadis yang tidak
memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj
al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa
ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
هو ما رواه الواحد أ و اﻹ ثنان فاكثر مما
لم تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.
“Hadis Ahad adalah
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak
memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj
al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah
perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir ataupun
Hadis Masyhur.
B. Klasifikasi Hadits Ahad
Jumlah rawi-rawi dalam
thabaqat (lapisan) pertama, kedua, atau ketiga dan seterusnya pada hadits Ahad
itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Para
Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadits Ahad mengingat
banyak-sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadits
Masyhur, Hadits ‘Aziz, dan Hadits Gharib.
1. Hadits Masyhur
Yang dimaksud dengan
hadits Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih,
serta belum mencapai derajat mutawatir.
Menurut ulama
fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadits-Mustafid.
Sedang ulama yang lain membedakannya. Yakni, suatu hadits dikatakan dengan
mustafid bila jumlah rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari
thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih
umum daripada Hadits Mustafid. Yakni jumlah rawi-rawi dalam setiap thabaqah
tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Dalam Hadits Masyhur, bisa
terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama, sahabat, thabaqah kedua,
tabi’iy, thabaqah ketiga, tabi’it-tabi’in, dan thabaqah keempat, orang-orang
setelah tabi’it-tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah
rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.
Macam-macam Hadits
Masyhur
Istilah Masyhur yang
diterapkan pada suatu hadits, kadang-kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat
hadits, yakni banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadits, tetapi diterapkan
juga untuk memberikan sifat suatu hadits yang mempunyai ketenaran di kalangan
para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Sehingga dengan
demikian ada suatu hadits yang rawi-rawnya kurang dari tiga orang, bahkan ada
hadits yang tidak berasal (bersanad) sama sekalipun, dapat dikatakan dengan
Hadits Masyhur.
Dari segi ini, maka
Hadits Masyhur itu terbagi kepada:
1)
Masyhur di kalangan
para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan
orang umum).
2)
Masyhur di kalangan
ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya masyhur di kalangan
ahli hadits saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu
saja, atau lain sebagainya.
3)
Masyhur di kalangan
orang-orang umum saja.
2.
Hadits ‘Aziz
Hadits ‘Aziz itu ialah
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut
terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada
meriwayatkannya.
Menurut pengertian
tersebut, yang dikatakan hadits ‘Aziz itu, bukan saja yang hanya diriwayatkan
oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama
sampai dengan thabaqah terakhir harus terdiri dari dua-dua orang, sebagaimana
yang di ta’rifkan oleh sebagian Muhadditsin, tetapi selagi pada salah satu
thabaqahnya (lapisannya) saja, di dapati dua orang rawi, sudah bisa dikatakan
hadits ‘Aziz.
Dengan demikian,
hadits ‘Aziz itu dapat berpadu dengan hadits masyhur, seumpama ada dua hadits
yang rawi-rawinya pada salah satu thabaqah terdiri dari dari dua orang, sedang
pada thabaqah yang lain, terdiri dari rawi-rawi yang banyak jumlahnya.
3. Hadits Gharib
Yang dimaksud Hadits
Gharib ialah Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang
menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyindirian dalam sanad itu
terjadi.
Penyendirian rawi
dalam meriwayatkan hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni
tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat
mengenai sifat atau keadaan rawi tersebut.
Artinya sifat atau keadaan rawi tersebut berbeda dengan sifat dan keadaan
rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut.
Ditinjau dari segi
bentuk penyendirian rawi, maka hadits gharib itu terbagi kepada dua macam.
Yaitu Gharib-mutlak dan Gharib-nisbi.
Gharib-Mutlak (Fard)
Apabila penyendirian rawi dalam
meriwayatkan hadits itu mengenai personalianya, maka hadits yang diriwayatkan
disebut Gharib-mutlak. Penyendirian rawi hadits gharib-mutlak ini harus
berpangkal ditempat ashlu’s-sanad (pangkal pulang dan
kembalinya sanad) yakni tabi’iy, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan
penyendirian rawi dalam hadits-gharib disini, ialah untuk menetapkan apakah
masih bisa diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali. Sedangkan jika
yang menyendiri itu orang sahabat, sudah tidak perlu diperbincangkan lagi,
karena sudah diakui oleh umum bahwa sahabat-sahabat itu adalah adil semuanya.
Penyendirian rawi dalam
hadist-Gharib-mutlak itu, dapat terjadi pada tabi’iy saja
(ashlus’s-sanad), atau pada tabi’it-tabi’in atau dapat juga pada seluruh
rawi-rawinya di setiap thabaqah.
Gharib-Nisby
Apabila penyendirian itu mengenai
sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rawi, maka hadits yang
diriwayatkannya disebut dengan Hadits Gharib-Nisby.
C. KedudukanHaditsAhad
Bila hadits mutawatir
dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian
halnya dengan hadits ahad. Hadits ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW,
tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadits
ahad mungkin benar berasal dari beliau.
Karena hadits ahad itu
tidak pasti (ghairuqat’Iataughairumaqtu’), tetapi diduga (zanni) berasal dari
Rasulullah SAW, maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber atau sumber ajaran
islam, berada di bawah kedudukan hadits mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu
hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad bertentangan isinya dengan hadits
mutawatir’ maka hadits tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadits yang
tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Bila diperinci lebih
lanjut, kedudukan hadits-hadits ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan taraf
dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah SAW. Sebagian
hadits-hadits tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadits yang
lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadits ahad. Hadits ahad itu ada yang
dinilai shahih ada yang dinilai hasan dan ada pula yang dinilai dha’if.
Kedudukan hadits shahih lebih tinggi daripada hasan dan kedudukan hadits hasan
lebihtinggi daripada hadits da’if.
Para imam berbeda pendapat kedudukan
hadits ahad ini. Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya
orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah,
bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat
dipakai menetapkan hukum-hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan harus
didahulukan dari qias zhonni (tidak pasti).
Imam syafi’i menegaskan, hadits ini
dapat dijadikan hujjah jika rawinya memiliki empat syarat:
1.
Berakal
2.
Dhobit (yakni memiliki
ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan
saja dikehendaki)
3.
Serta mendengar
langsung dari Nabi Muhammad Saw; dan
4.
Tidak menyalahi
pendapat ulama hadits.
D. Pembagian-PembagianHadits Ahaddari Segi Maqbuldan Mardud
Hadits yang diperiksa;
diselidiki, dibahas dan dibicarakan oleh segenap ahli hadits yang mu’tabar,
ialah: “Hadits-hadits yang diterima dari orang seseorang, atau orang ramai ,
tapi tak sampai kederajat mutawatir..
Akan tetapi, karena
pada tiap-tiap bagian yang telah diterangkan, ada yang shahih, ada yang dla’if,
kembalilah mereka membagi hadits Ahad itu mengingat shahih tidaknya, kepada 2
bagian besar pula, yaitu:Maqbul (yang diterima) danMardud (yang
di tolak dan tak dapat diterima).
Hadits Maqbul
Maqbul pada lughat, ialah :
“Ma’khudz = yang diambil, mushaddaq = yang dibenarkan (yang diterima)”.Pada
‘uruf ahli Hadits, sebagai yang diterangkan oleh Al Hafidh ibn Hajar Al
Asqalani didalam kitab An Nakhbah, ialah:
ماَ دَلّ دَلِيْلٌ عَلَى رَجَحَانِ ثُبُوْ تِهِ
“Yang ditunjuki oleh
sesuatu keterangan, bahwa Nabi s.a.w ada penyabdakannya. (Yakni adanya, lebih
berat dari tidak adanya)”.
مَا تَوَا فَرَتْ فِيْهِ شُرُوْطُ القَبُوْلِ
“Yang sempurna
padanya, syarat-syarat menerimanya”.
Segala hadits maqbul itu, wajib diterima. Demikian pendapat jumhur ulama.
Dan hadits maqbul itu dibagi kepada:
1.
Shahih li dzatihi = shahih dengan
sendirinya.
2.
Shahih lighairihi
= shahih karena selainnya.
3.
Hasan lid dzatihi
= hasan dengan sendirinya.
4.
Hasan lighairihi
= hasan karena selainnya.
Hadits maqbul dibagi
menjadi dua:
1.
Ma’mul bihi (yang diamalkan)
dipergunakan untuk menegakkan sesuatu hukum.
2.
Ghairu Ma’mul bihi (yang tidak
diamalkan) tiada dapat dipergunakan untuk menjadi hujjah bagi sesuatu hukum
Syara’.
Yang diamalkan,
dinamakan: Ma’mul bihi (Ma’khudz bihi). Yang tidak
diamalkan, dinamakan: Ghairu Ma’mul bihi (Ghairu Ma’khudz
bihi).
Hadits-hadits yang diamalkan.
Hadits-hadits yang diamalkan, ialah:
1)
Segala Hadits muhkam.
2)
Segala Hadits Mukhtalif yang mungkin dikumpulkan dengan mudah.
3)
Segala Hadits yang Nasikh.
4)
Segala Hadits yang Rajih.
Hadits-hadits yang tiada diamalkan,
ialah:
1)
Hadits mutawaqqaf fihi (Hadits yang berlawanan dengan yang lain yang tak dapat
ditarjihkan dan tidak dapat diketahui mana yang terdahulu dan mana yang
kemudian).
2)
Hadits Marjuh (hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat dari padanya).
3)
Hadits Mansukh (hadits yang telah dihapuskan hukumnya). *)Segala اpa hadits ini diterangkan ditempatnya masing-masing.
Hadits Mardud
Mardud pada lughat, ialah:
“Yang ditolak, yang tidak diterima”.Pada ‘Uruf ulama hadits, ialah:
مَالَمْ يَدُلُّ دَلِيْلُ عَلَى رَجَحَانِ ثُبُوْتِهِ, وَلَاعَدَمِ
ثُبُوْتِهِ, بَلْ يَتَسَاوَى اْلأَمْرَانِ فِيْهِ
“Hadits yang tiada ditunjuki oleh
sesuatu keterangan kepada berat adanya dan tiada ditunjuki kepada berat
ketiadaannya. Adanya dengan tiadanya bersamaan.”
مَالَمْ تُوْجَدُفِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْل
ِ“Yang tiada didapati padanya,
sifat menerimanya”.
Tegasnya, segala
hadits dla’if yang berbagai macam namanya; (yang akan kami perkatakan satu
persatunya).
Dengan keterangan yang
amat ringkas ini, telah dapat kita mengambil kesimpulan, bahwa hadits yang
boleh diterima, tak boleh ditolak, ialah: hadits Maqbul atau hadits Shahih dan
Hadits hasan yang Ma’mul Bihi. Selain dari pada itu, tak dapat diterima untuk
dijadikan hujjah untuk mmenetapkan hukum murni ini.
E. Penerimaan dan Penolakan Hadits Ahad
Keterikatan orang Islam terhadap informasi hadits ahad tergantungpada
kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya. Bila sanad hadits itu
tidak bersambung, atau periwayatnya tidak dapat dipercaya kendati
sanadnya bersambung maka hadits itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk
mempergunakannya sebagai dasar beramal. Sebaliknya, bila sanadnya bersambung
dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadits itu harus dijadikan
dasar. Hanya saja, sebagian besar ulama berkesimpulan bahwa hadits Ahad itu
melahirkan ‘ilmu zhann, bukan ‘ilmu yaqin. Sungguhpun hadits ini mendatangkan
‘ilmu zhann, tetapi bila ia merupakan zhann yang rajih, maka mengikat orang
Islam untuk mengamalkannya. Tentu, yang dimaksud hadits Ahad yang dijadikan
dasar beramal adalah yang memenuhi syarat, yang dikenal sebagai hadits shahih,
setidak-tidaknya hasan.
Fungsi operasional hadits ahad dapat
dibagi menjadi dua kelompok; pertama kelompok yang menolak mengamalkan hadits
ahad. Termasuk kelompok ini adalah al-Qashani, sebagian ulama Zhahiriyah dan
Ibnu Daud.Kedua, mereka yang memperbolehkan, kalau bukan justru mewajibkan,
pengamalan hadits ahad yang sudah digolongkan pada hadits sahih dan
hasan. Sebab kalau sudah ditentukan kesahihannya, sekalipun telah bersifat
zhanny at-tsubut, pastilah hadits tersebut datang dari Nabi Muhammad SAW, dan
setiap sesuatu yang datang dari beliau pasti merupakan syariat dan syariat
wajib yang diamalkan oleh umat Islam. Termasuk dalam kelompok ini adalah semua
sahabat, tabi’in, dan tabiu at-tabi’in seta para imam agama yang mujtahidin.
Jika ada ulama yang tidak mengamalkan hadits ahad, menurut Jumhur, hanyalah
mereka yang tidak meyakini kesahihannya, bukan menolak hadits ahad.
Perbedaan tersebut dapat dikategorikan
sebagai berikut:
1.
Lokus operasional
hadits ahad pada aspek keislaman
2.
Lokus operasional
hadits hanya sekitar furu’iyah, tidak dalam masalah i’tiqadiyah karena
keyakinan harus berdasarkan pada dalil yang qath’iy, sedang hadits ahad
bersifat zanniy. (qath’iy : pasti, zanniy : tidak pasti).
3.
Lokus
operasionalhadits ahad bukan pada nasikh al-ayat karena yang zhanny tidak bisa
menasakh yang qath’iy. Diantara ulama yang berpandangan demikian ialah Imam
as-Syafi’i memberbolehkannya.
4.
Lokus operasional
hadits ahad bukan pada takhshish al-ayat yang kandungan maknanya ‘amm (umum).
Termasuk dalam kelompok ini menurut Ibnu Burhan dan al-Qaththan, al az-zhahir
(pengikut Daud bin Ali) dan sebagian-sebagian lagi ulama Irak.
5.
Lokus operasional hadits
ahad bukan pada masalah yang hanya menyangkut masalah duniawi karena ada sabda
nabi yang menyatakan bahwa: “Kamu semua lebih mengetahui masalah dunia
kalian.” (H.R. Muslim).
Ulama juga berpendapat mengenai
syarat-syarat pengamalan hadits ahad. Perbedaan tersebut adalah:
1.
Abu Hanifah
memeberikan syarat-syarat:
1.
Para perawinya tidak
menyalahi riwayatnya
2.
Riwayatnya tidak
mengenai hal-hal yang bersifat umum,
3.
Riwayatnya tidak
menyalahi qiyas
4.
Malikiyah memberikan
syarat bahwa hadits ahad yang diamalkan tidak bertentangan dengan ‘uruf ulama
(tradisi ulama) Madinah karena amalan-amalan mereka sama dengan riwayatnya.
5.
As-Syafi’i tidak
mensyaratkan ke-mashyur-annya, tidak bertentangan dengan amalan ulama Madinah
dan juga tidak mensyaratkan agar tidak menyalahi qiyas. Ia hanya memberikan
syarat kesahihan sanad hadits yang ittishal (sambung sanadnya).
Karena adanya perbedaan dalam beberapa
hal tersebut diatas, sebagian ulama Hanafiyah tidak mengkafirkan orang yang
mengingkari hadits ahad, akan tetapi hanya dihukumi berdosa.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh
Musthafa Al-Sib’ai bahwa hadits ahad diperlukan sebagai dasar syariat
Islam.Antara lain:
1.
Diriwayatkanoleh Imam
Malik dari Ishaq Ibn Abi Thalhah dari Anas Ibn Malik yang mengatakan, ”Aku
pernah memberi Abu Thalhah, Abu ‘Ubaidah Ibn Al-Jarrah dan Ubai Ibn Ka’b
minuman dari perasan anggur dan kurma.” Kemudian seseorang datang dan berkata.
“sesungguhnya khamar itu telah diharamkan.” Maka Abu Thalhah berkata, ”hai
Anas, buanglah dan ambil botol itu dan pecahkanlah!.” Kemudian minuman itu
dibuang dan botolpun dipecahkan. Sebelum datang larangan ini, masyarakat
memahami bahwa minuman keras itu boleh diminum. Beberapa orang yang disebut di
dalam riwayat ini termasuk berpengetahuan seperti ini. Kedatangan seseorang dengan
sebuah berita membuat mereka mempercayai berita tersebut, kendati diriwayatkan
secara ahad.
2.
Hukuman potong tangan
dapat dijatuhkan kepada pencuri yang mencuri harta genap satu nishab apabila
dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi terpercaya. Kesaksian dua
orang saksi juga menggambarkan bahwa sebenarnya riwayat (kesaksian) mereka termasuk
berita ahad juga.
F. Contoh-Contoh HaditsAhad
Dari Shahih Bukhariyaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu dengan niat,
dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa
yang hijrahnya kepada dunia yangakan ia dapatkan atau kepada perempuan yang
akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan”.
[Muttafaqun ‘alaih].
Hadits ini berbicara tentang salah satu
diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal
seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam
bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin
Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin
Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Muhammad
bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Yahya
bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan
perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib.
Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir
sebagian besar ulama.
Hadits inidiriwayatkan oleh Imam Muslim
dan yang lainnya. Hadits ini,selain ahadjuga gharib, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda, ‘Iman itu ada enam
puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman”.
Hadits ini menjelaskan tentang cabang
keimanan. Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat
Imam Muslim,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى
عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu tujuhpuluh cabang lebih,
Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah
ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang
iman”.
Hadits ini juga berbicara tentang
aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan.
Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib. Jikalau kita menerima kaidah
mereka (Hizbut Tahrir), maka tertolaklah hadits ini, karena tidak diriwayatkan
secara mutawatir.
Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ
وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“SesungguhnyaRasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak
akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih
dicintai daripada bapak dan anaknya”.
Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِينَ
“RasulullahShallallahu ‘alaihi wa
salalm bersabda, ‘Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah
seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya
dan semua orang”.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا
يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“RasulullahShallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang
maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih
dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya
kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci
dilempar kedalam api neraka”.
Hadits ini juga berbicara tentang cinta
kepada Allah, RasulNya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian
ini adalah masalah aqidah.
Hadits nomor 32, dari jalan Abdullah bin
Mas’ud.
قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ
بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Ibnu Mas’ud mengatakan, “ketika
turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?’
lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu
adalah kezhaliman yang besar”
Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para
sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang
tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah n menjelaskan kepada mereka, bahwa
bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada
anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) disini, maksudnya adalah syirik. Ini juga
berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.
Hadits no. 39, dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu.
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
“Sesungguhnya agama itu adalah mudah”
Ini juga berbicara tentang aqidah,
bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam,
pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah?
Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah
memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).
Hadits yang masyhur dan telah diterima
oleh para ulama.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnyamantera-mantera (yang
bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik”.
Tentunya mantera-mantera yang
dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dengan
bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i.
0 komentar:
Trimakasih atas kunjungan anda.. Blog ini Dofollow) Silahkan menaruh kritik dan saran pada kotak komentar ini, asal tidak SPAM dan bagi yang mencantumkan link, akan terhapus otomatis.